Katakritis | Bengkulu — Sejumlah advokat di Provinsi Bengkulu menyatakan sikap tegas terhadap dugaan kriminalisasi profesi advokat yang terjadi di Kabupaten Kepahiang. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar di Cafe Siber, Tanah Patah, Kota Bengkulu, pada Rabu (15/10).
Pernyataan tersebut terkait proses hukum yang menjerat Advokat Dummi Yanti dalam perkara yang dilaporkan oleh seorang pelapor bernama Dhayalen, meski telah ada kesepakatan perdamaian antara para pihak.
Ketua tim advokat, Abu Yamin, menjelaskan bahwa kasus ini bermula saat Advokat Dummi Yanti mendampingi kliennya, Risma Lisia Chintami, berdasarkan Surat Kuasa tertanggal 25 Juni 2025 dalam perkara dengan Nomor: LP/B/88/V/2025/SPKT/POLRES KEPAHIANG/POLDA BENGKULU.
Pada 2 Juli 2025, Dummi Yanti mendampingi kliennya dalam proses mediasi di rumah seorang warga bernama Ujang. Dalam pertemuan tersebut, pelapor merekam secara sepihak menggunakan kamera ponsel dan mengarahkan kamera ke wajah advokat. Dummi Yanti menolak direkam dan menghalangi kamera tanpa adanya kontak fisik.
Namun, pada 3 Juli 2025, laporan polisi LP/B/98/VII/2025/SPKT/POLRES KEPAHIANG/POLDA BENGKULU dibuat, yang menuduh adanya tindakan penganiayaan. Padahal, dua hari setelah kejadian, tepatnya 5 Juli 2025, telah dilakukan perdamaian resmi antara pelapor dan terlapor di Kantor Desa Kampung Bogor, Kecamatan Kepahiang. Kesepakatan damai tersebut ditandatangani kedua pihak, diketahui oleh Kepala Desa Tebat Monok, dan disaksikan oleh sejumlah saksi.
Abu Yamin menilai terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses penyelidikan dan penyidikan, di antaranya: sudah ada kesepakatan damai namun proses hukum tetap dilanjutkan; tidak ada bukti kontak fisik saat kejadian; terlapor adalah seorang perempuan berpostur kecil, sementara pelapor laki-laki bertubuh besar sehingga tuduhan penganiayaan dianggap tidak logis; adanya dugaan intervensi dari pelapor terhadap penyidik dengan memanfaatkan statusnya sebagai figur publik (TikTokker) dan relasinya dengan pejabat; serta dugaan adanya tekanan kepada penyidik agar perkara tetap diproses meski telah ada perdamaian.
Abu Yamin menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap advokat yang sedang menjalankan tugas merupakan bentuk pelemahan terhadap peran penegak hukum.
“Ini bukan sekadar kasus biasa. Ini bentuk pelemahan terhadap profesi advokat. Dummi Yanti sedang menjalankan tugas profesinya sebagai penasihat hukum, dan itu dilindungi undang-undang,” ujarnya.
Sementara itu, advokat Elfahmi Lubis, S.H., M.Pd., C.Med., C.PArbiter, menyebut bahwa dalam penanganan perkara kliennya ada perlakuan yang tidak equal (setara) yang dilakukan penyidik. Terhadap laporan pelapor cepat sekali diproses, sedangkan terhadap laporan polisi klien kami terkesan lamban.
“Sebenarnya dalam kasus klien kami ini sudah ada kesepakatan damai dengan pelapor. Mengapa tidak dikedepankan penyelesaian secara restoratif justice (RJ) sesuai dengan Perkap Kapolri. Bahkan, secara persuasif kami kuasa hukum telah bertemu dengan Wakapolres, yang intinya agar perkara ini diselesaikan secara RJ, ” Tegas pria yang juga berprofesi sebagai Dosen UMB ini.
Fahmi juga mengingatkan bahwa advokat memiliki hak imunitas sesuai Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. ” “Setiap advokat yang sedang menjalankan tugas profesinya untuk membela kepentingan kliennya dengan itikad baik tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana begitu saja. Hak imunitas advokat adalah pelindung profesi, bukan pembenaran atas pelanggaran. Namun dalam kasus ini, sangat jelas advokat bekerja secara profesional, bukan pelaku kejahatan,” ujarnya.
Fahmi juga menyampaikan desakan agar Kapolri, Irwasda Mabes Polri, Wasidik Mabes Polri, Propam Mabes Polri, Itwasum, Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas, serta Kapolda Bengkulu dan jajarannya untuk segera turun tangan dan mengkaji proses hukum yang dinilai bertentangan dengan aturan perundang-undangan ini.
Pernyataan ini, tegas Fahmi, merupakan bentuk solidaritas dan pembelaan terhadap martabat profesi advokat yang dilindungi oleh hukum. Advokat bukan pelaku kriminal saat menjalankan tugas profesinya, melainkan penegak hukum sebagaimana diatur dalam sistem peradilan Indonesia.














